Insitut Karmel Indonesia (IKI) dan Komisi Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC/JPIC) menyelenggarakan kursus dengan tema “Leadership In Multi-Religious Community Of Indonesia”. Kursus ini diselenggarakan 21 -23 Januari 2019 yang lalu di aula Provinsialat Ordo Karmel Indonesia, Jl Talang 3. Ada pun kursus ini dbawakan oleh Prof. Dr. Leo D. Lefebure dari Theology Department – Georgetown University, selaku main speaker (pembicara utama) dan Dr. Hariawan Adji, O.Carm dari Faculty of Humanities – Airlangga University, selaku keynote speaker. Kegiatan ini secara khusus dikoordinir oleh IKI dan JPIC yang berkolaborasi bersama para frater dari Biara Karmel Titus Brandsma. Para frater diajak untuk terlibat mulai dari persiapan hingga selesainya keseluruhan rangkaian acara.
Acara diawali dengan penyampaian sambutan dari direktur IKI dan penyampaian pembukaan oleh keynote speaker. Dalam pembukaan ini, Rm. Hari menjelaskan mengenai perubahan zaman dan perkembangan teknologi yang berdampak kepada situasi ekonomi saat ini. Di sisi lain juga terdapat tantangan dalam kepemimpinan di Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh situasi keagamaan di Indonesia. Oleh karena itu sangat diperlukan suatu pembekalan khususnya bagi orang katolik agar mampu menjadi pemimpin di tengah keragaman agama dan persoalan yang ada di dalamnya. Hal inilah yang hendak dicapai di dalam kursus ini.
Kursus ini dibawakan selama tiga hari berturut-turut. Selama 3 hari, jumlah peserta lebih kurang mencapai 150 orang. Para peserta berasal dari pelbagai kelompok, antara lain: romo-romo dari Keuskupan Malang, Novis Karmel, para frater dan suster dari pelbagai tarekat, kelompok-kelompok kategorial (TOC, KTM) perwakilan umat dari Keuskupan Surabaya dan Malang, dosen dan mahasiswa dari Brawijaya, UM, dan dari pelbagai kelompok lainnya. Para peserta juga begitu antusias mengikuti seluruh rangkaian kursus yang dibawakan dengan dua bahasa ini yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Setelah selesai kursus, peserta juga diajak untuk menikmati santap malam bersama di refter.
Selama 3 hari kursus dibawakan oleh Prof. Dr. Leo D. Lefebure dan dibantu oleh Rm. Charles Virgenius, O.Carm, Fr. Christ, O.Carm dan Fr. Gabriel Dibya Panata Lumanta, O.Carm selaku interpreters. Kursus ini dibagi ke dalam tiga bagian. Pada hari pertama, Father Leo, demikian sapaan pembicara utama ini, mengajak para peserta kursus untuk melihat perbedaan konteks budaya dan perbedaan agama di Indonesia. Rm. Leo tidak langsung memasuki konteks Indonesia, tetapi mencoba memaparkan teladan dari cara berelasi dengan orang non katolik melalui suatu dialog tentang kehidupan sebagai “sesama”. Perintah Yesus “Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri”(Mat 22:39), terungkap secara nyata dalam keteladanan Paus Fransiskus dalam relasinya dengan Rabbi Avraham Skorka. Selain itu Rm. Leo juga menjelaskan tentang tantangan dan spiritualitas dalam relasi antar agama yang terungkap dalam Tiga Jalan (Jalan Pemurnian, Jalan Pencerahan dan Jalan Persatuan). Ketiga jalan ini dijelaskan dalam rangka meningkatkan kemampuan membangun relasi yang lebih baik dalam hubungan antar-agama.
Pada hari kedua, Rm. Leo menjelaskan cara memulihkan hubungan antar-agama yang kerap kali disertai dengan “luka masa lampau”. Luka tersebut dialami tidak hanya oleh orang-orang Kristen/Katolik tetapi juga oleh orang-orang non Kristen/Katolik. Dalam pemaparan dari Rm. Leo, disampaikan fakta sejarah tentang relasi orang Kristen/Katolik dengan agama non Kristen/Katolik, khususnya Yahudi. Relasi yang telah terjadi seperti dalam Kitab Suci, mengukir pengalaman pahit bagi keduanya. Pengalaman pahit ini ternyata juga menjadi pola yang tertanam di alam bawah sadar orang Kristen/Katolik.
Pola tersebut tanpa disadari mempengaruhi cara berelasi antara orang Kristen/Katolik dengan orang-orang dari agama lain seperti Islam, Buddha dan Hindu. Untuk itu orang-orang Kristen/Katolik harus kembali kepada Yesus. Yesus (Yahudi) sendiri telah meneladankan sikap yang tepat dalam berelasi dengan orang non Yahudi. Sekarang bagaimana dengan kita, para pengikut-Nya? Rm. Leo mengajak para peserta untuk sembuh dari “luka masa lampau” dengan belajar mengampuni dan menghilangkan segala prasangka dan sikap pengkambinghitaman.
Pada hari ketiga, Rm. Leo mengajak peserta untuk menelusuri sejarah panjang mengenai Kebijaksanaan Yesus yang juga terdapat dalam agama-agama lain dengan pelbagai bentuknya. Di dalam pelbagai agama dan budaya, ternyata Yesus Sang Kebijaksanaan Ilahi juga hadir dalam gambaran yang berbeda sama sekali dari yang dipahami oleh orang Kristen/Katolik. Dengan pemahaman ini, Rm. Leo hendak mengajak peserta untuk menyadari: “kita semua adalah peziarah yang menuju Kediaman Ilahi. Begitu pula dengan orang Yahudi, Islam, Hindu dan Buddha juga memiliki tradisi tentang peziarahan ke Kediaman Ilahi. Untuk itu dengan inspirasi dari Kebijaksanaan Ilahi dalam Yesus Kristus, orang Kristen/Katolik dapat berjalan bersama penganut agama lain sebagai rekan seperjalanan dalam peziarahan sambil tetap menghormati tradisi satu sama lain melalui dialog.”
Seluruh rangkaian acara ditutup dengan misa syukur dengan intensi bagi kehidupan antar beragama di Indonesia. Misa dipimpin oleh Rm. Irtikandik Darmawanto, O.Carm selaku Selebran utama dan turut serta para Konselebran: Rm. FX Hariawan Adji, O.Carm, Rm. Dionisius Riza Aditya, O.Carm, Rm. Virgenius Charles, O.Carm dan Rm. Leo D. Lefebure yang merupakan Imam di Keuskupan Chicago. Homili dibawakan oleh Rm. FX Hariawan Adji, O.Carm. Beliau menekankan suatu pesan untuk tidak berprasangka buruk dan memberi label buruk kepada kelompok tertentu (mis Kelompok Farisi) karena ada oknum yang berlaku tidak baik (orang farisi dalam Injil Mrk3:1-6).
Selama tiga hari para peserta sungguh diajak untuk menggeluti persoalan di balik relasi antar umat beragama. Pergelutan ini dijalani dengan penuh antusias, sehingga ada banyak peserta yang bertanya baik di dalam ruang kursus maupun ketika sedang santap malam. Rm. Leo pun menanggapi seluruh proses tanya jawab dengan antusias dan penuh perhatian. Hal ini kiranya menjadi tanda bahwa orang Kristen/Katolik sungguh dipanggil untuk menanggapi panggilan Kristus untuk mengasihi sesama (Mat 5:43-44; 19:19; 22:39) dalam situasi kehidupan antar agama yang sarat dengan prasangka, sikap intoleran, dendam dan kesalahpahaman.